Sore
itu sepulang dari lahan pasir di Kulonprogo mbak Astri mengajak kami melewati
jalan yang tidak biasa. Kami pulang melewati pesisir pantai Selatan Kulonprogo,
Pantai Trisik. Di sekitar pesisir ini banyak sekali kulihat rumah-rumah transmigran disana. Tak perlu
dihitung banyaknya, karena di setiap rumah itu sudah ada nomor nya. Ingat Drama
Korea yang lagi ngehits lahi? Yaa- Full House. Tapi jangan dibayangkan rumah
yang kulihat seperti itu. Rumah transmigran ini merupakan rumah sederhana yang
terbuat dari batako. Kemungkinan rumah asli dari pemerintah, hanya terbuat dari
batako yang masih putih itu, bentuk nya juga masih sederhana, dengan beberapa
petak kamar, dan asa teras di bagian depan. Tetapi ada beberapa rumah yang telah
direnovasi. Terakhir yang dapat kulihat nomor rumahnya mencapai 109, sebelum
akhirnya memasuki lahan pertanian lagi, kemudian mulai menyusul rumah penduduk
dan perkampungan.
Selain berderet ratusan rumah transmigran, terlihat beberapa lokasi tambak udang dan ada pula lahan yang sedang dibangun untuk menjadi tambak udang. Tambak ini tidak dibuat dengan mengeruk tanah (read pasir), kemudian dilapisi dengan plastic semacam mulsa. Otomatis plastic yang digunakan sangat luas sesuai ukuran lahan yang dikeruk. Fungsi plastic ini sebagai alas di tambak udang. Di tengah plastic itu ada seperti lubang pembuangan, yang dapat digunakan untuk menguras tambak.Tinggi/ kedalaman tambak mencapai 1,5-2 meter. Luas setiap tambak kurang lebih 20 meter.
Selain berderet ratusan rumah transmigran, terlihat beberapa lokasi tambak udang dan ada pula lahan yang sedang dibangun untuk menjadi tambak udang. Tambak ini tidak dibuat dengan mengeruk tanah (read pasir), kemudian dilapisi dengan plastic semacam mulsa. Otomatis plastic yang digunakan sangat luas sesuai ukuran lahan yang dikeruk. Fungsi plastic ini sebagai alas di tambak udang. Di tengah plastic itu ada seperti lubang pembuangan, yang dapat digunakan untuk menguras tambak.Tinggi/ kedalaman tambak mencapai 1,5-2 meter. Luas setiap tambak kurang lebih 20 meter.
Add caption |
Ngomong-ngomong
soal tambak udang, menurut mbak Astri pengahasilan dari tambak udang ini dalam
sekali panen bisa meraup keuntungan bersih 90 juta. Sekali masa panen itu bisa
dicapai dalam waktu tiga bulan. Woow,, uang gaes.. pantesan kemarin ada kakak
tingkat yang sempet tertarik di bagian per-udangan. Bukan tentang uangnya, tapi
tambaknya, mungkin karena tambak udangnya syahduu gini, hehehe.
Tapii
aku kemudian aku jadi teringat, saat itu aku melewati pantai Samas. Disana aku
menemukan plang yang bertuliskan “Warga menolak tambak udang”. Tapi di Pantai
Trisik ini belum kutemukan plang yang sama. Hmm,, kira-kira kenapakah? Apakah tambak
udang ini merugikan warga di sekitar pantai??
The
answer is…. ternyata dengan adanya tambak udang ini telah menurunkan produktivitas lahan yang
pada awalanya digunakan untuk pertanian, itu alasan pertama. Kemudian aktivitas
kincir air yang ada di tambak udang ini dapat meningkatkan penguapan air garam
di laut, menuju ke lahan pertanian di sekitarnya. Penguapan air garam laut ini
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Namun.. selain halhal di atas,
penolakan warga ini ternyata juga terkait dengan kepemilikan tambak yang
notabene ternyata adalah pendatang, bukan warga asli pesisir. SElain investor
nya dari luar, bahkan sampai pekerja di tambak juga didatangkan dari luar,
bukan warga local. Kemungkinan inilah yang menyebabkan bertambahnya rasa kecewa
warga.
Tentu
ini lah yang menjadi PR selanjutnya. Bagaiamana mencari jalan keluar dari
masalah ini agar tidak merugikan banyak pihak, bahkan jika dapat dicapai
keseimbangan dalam hal ini tentu akan lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar