Selasa, 07 April 2015

Berkenalan dengan Tambak Udang


Sore itu sepulang dari lahan pasir di Kulonprogo mbak Astri mengajak kami melewati jalan yang tidak biasa. Kami pulang melewati pesisir pantai Selatan Kulonprogo, Pantai Trisik. Di sekitar pesisir ini banyak sekali kulihat  rumah-rumah transmigran disana. Tak perlu dihitung banyaknya, karena di setiap rumah itu sudah ada nomor nya. Ingat Drama Korea yang lagi ngehits lahi? Yaa- Full House. Tapi jangan dibayangkan rumah yang kulihat seperti itu. Rumah transmigran ini merupakan rumah sederhana yang terbuat dari batako. Kemungkinan rumah asli dari pemerintah, hanya terbuat dari batako yang masih putih itu, bentuk nya juga masih sederhana, dengan beberapa petak kamar, dan asa teras di bagian depan. Tetapi ada beberapa rumah yang telah direnovasi. Terakhir yang dapat kulihat nomor rumahnya mencapai 109, sebelum akhirnya memasuki lahan pertanian lagi, kemudian mulai menyusul rumah penduduk dan perkampungan.

Selain berderet ratusan rumah transmigran, terlihat beberapa lokasi tambak udang dan ada pula lahan yang  sedang dibangun untuk menjadi tambak udang. Tambak ini tidak dibuat dengan mengeruk tanah (read pasir), kemudian dilapisi dengan plastic semacam mulsa. Otomatis plastic yang digunakan sangat luas sesuai ukuran lahan yang dikeruk. Fungsi plastic ini sebagai alas di tambak udang. Di tengah plastic itu ada seperti lubang pembuangan, yang dapat digunakan untuk menguras tambak.Tinggi/ kedalaman tambak mencapai 1,5-2 meter. Luas setiap tambak kurang lebih 20 meter.
Add caption
Hal yang paling menarik perhatian ku adalah kincir-kincir air yang dipasang di tambak. Warna kincir yang senada membuat pemandangan di tambak ini lebih syahduu, oranye. Luass dan sepanjaang mata memandang adalah tambak yang ada di pinggir pantai, suasana di sore ini sungguh syahdu. Ini pertama kalinya aku melihat lokasi tambak udang, ternyata masih buanyak hal yang belum juga kutahu, dan sunggu menarik untuk dipelajari lagi.



Ngomong-ngomong soal tambak udang, menurut mbak Astri pengahasilan dari tambak udang ini dalam sekali panen bisa meraup keuntungan bersih 90 juta. Sekali masa panen itu bisa dicapai dalam waktu tiga bulan. Woow,, uang gaes.. pantesan kemarin ada kakak tingkat yang sempet tertarik di bagian per-udangan. Bukan tentang uangnya, tapi tambaknya, mungkin karena tambak udangnya syahduu gini, hehehe.

Tapii aku kemudian aku jadi teringat, saat itu aku melewati pantai Samas. Disana aku menemukan plang yang bertuliskan “Warga menolak tambak udang”. Tapi di Pantai Trisik ini belum kutemukan plang yang sama. Hmm,, kira-kira kenapakah? Apakah tambak udang ini merugikan warga di sekitar pantai??


The answer is…. ternyata dengan adanya tambak udang ini telah menurunkan produktivitas lahan yang pada awalanya digunakan untuk pertanian, itu alasan pertama. Kemudian aktivitas kincir air yang ada di tambak udang ini dapat meningkatkan penguapan air garam di laut, menuju ke lahan pertanian di sekitarnya. Penguapan air garam laut ini dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Namun.. selain halhal di atas, penolakan warga ini ternyata juga terkait dengan kepemilikan tambak yang notabene ternyata adalah pendatang, bukan warga asli pesisir. SElain investor nya dari luar, bahkan sampai pekerja di tambak juga didatangkan dari luar, bukan warga local. Kemungkinan inilah yang menyebabkan bertambahnya rasa kecewa warga.  

Tentu ini lah yang menjadi PR selanjutnya. Bagaiamana mencari jalan keluar dari masalah ini agar tidak merugikan banyak pihak, bahkan jika dapat dicapai keseimbangan dalam hal ini tentu akan lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar